Rabu, 31 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis_MORALITAS KORUPTUR



Kelas               : 4EA17
Nama              : Ahmad Eko Saputro
Npm                : 10211411
Tugas ke         : 4


ABSTRAK

Ahmad Eko Saputro. 10211411
MORALITAS KORUPTOR
Jurnal. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata Kunci: moral, korupsi.

Salah satu agenda Negara ini yang sedang giat-giatnya adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada waktu digulirkannya reformasi ada suatu keyakinan bahwa peraturan perundangan yang dijadikan landasan landasan untuk memberantas korupsi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui Mengapa bisa terjadi korupsi padahal kegiatan semacam ini sudah banyak lembaga dibentuk untuk mengawasi kegitan korupsi dan si pelaku korupsi tersebut seperti KPK, ICW, dan lain-lain, Mengapa praktek korupsi itu sulit untuk diberantas hal semacam ini yang harus dibahas kenapa korupsi itu sampai butuh waktu lama untuk ditelusuri proses kejadiannya, Dampak dari korupsi dalam kegiatan bisnis seharusnya kita sadari apa yang terjadi jika ada yang berbuat semacam ini di dalam ruang lingkup usaha, dan Siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan korupsi.
Jangan sampai kegiatan korupsi ini menjadi gaya hidup atau budaya di dalam suatu Negara, dan seharusnya dibuat peraturan atau sanksi yang bisa membuat efek jera bagi para koruptor, cukup disayangkan jika koruptor memiliki pemikiran melakukan kegiatan korupsi mendapatkan sanksi hukum yang tidak terlalu lama dan jika berlaku baik akan mendapatkan remisi dalam sisa masa tahanannya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Salah satu agenda Negara ini yang sedang giat-giatnya adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada waktu digulirkannya reformasi ada suatu keyakinan bahwa peraturan perundangan yang dijadikan landasan landasan untuk memberantas korupsi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tersebut dapat di lihat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR / 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII / MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan butir c konsideran Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinyatakan sebagai berikut : “Bahwa undang – undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi”.

1.2     Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan masalah sebagia berikut :
1.      Mengapa bisa terjadi korupsi ?
2.      Mengapa praktek korupsi itu sulit untuk diberantas ?
3.      Bagaimana dampak dari korupsi dalam kegiatan bisnis ?
4.      Siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan korupsi ?

1.2.2  Batasan Masalah
Penulis membatasi masalah dalam penulisan ini hanya tentang perilaku atau moral yang dimiliki oleh individu atau manusia dalam kegiatan korupsi.
1.3    Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui kenapa bisa terjadinya korupsi
2.      Mengetahui kenapa korupsi itu sulit untuk diberantas
3.      Mengetahui dampak korupsi bagi kegiatan bisnis
4.      Mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya korupsi
 

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 kerangka Teori
2.1.1 Pengertian moral
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan atau tingkah laku atau ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama, Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.

2.1.2 pengertian korupsi secara teoritis
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan,  dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak perdana yangmemperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomiannegara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yangmemperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaanuang negara untuk kepentingannya.Sementara itu, Syed Hussen Alatas memberi batasan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Korupsi dapat berupa penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme. Disitu ada istilah penyuapan,yaitu suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan tersebut si penyuapberharap mendapat perlakuan khusus dari pihak yang disuap.
Seseorang yang menyuap izin agar lebih mudah menyuap pejabat pembuat perizinan. Agar mudah mengurus KTP menyuap bagian tata pemerintahan. Menyuap dosen agar memperoleh nilai baik. Pemerasan, suatu tindakan yang menguntungkan diri sendiri yang dilakukan dengan menggunakan sarana tertentu serta pihak lain dengan terpaksa memberikan apa yang diinginkan. Sarana pemerasan bisa berupa kekuasaan. Pejabat tinggi yang memeras bawahannya.
Sedangkan nepotisme adalah bentuk kerjasama yang dilakukan atas dasar kekerabatan, yang bertujuan untuk kepentingan keluarga dalam bentuk kolaborasi dalam merugikan keuangan negara.
Adapun ciri-ciri korupsi, antara lain:
1.        Melibatkan lebih dari satu orang. Setiap perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri, pasti melibatkan lebih dari satu orang.Bahkan, pada perkembangannya acapkali dilakukan secara bersama-sama untuk menyulitkan pengusutan.
2.        Serba kerahasiaan. Meski dilakukan bersama-sama, korupsi dilakukan dalam koridor kerahasiaan yang sangat ketat. Masing-masing pihak yang terlibat akan berusaha semaksimal mungkin menutupi apa yang telahdilakukan.
3.        Melibat elemen perizinan dan keuntungan timbal balik. Yang dimaksud elemen perizinan adalah bidang strategis yang dikuasai oleh Negara menyangkut pengembangan usaha tertentu. Misalnya izin mendirikan bangunan, izin perusahaan, dan lain-lain.
4.        Selalu berusaha menyembunyikan perbuatan atau maksud tertentu dibalik kebenaran.
5.        Koruptor menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan memiliki pengaruh. Senantiasa berusaha mempengaruhi pengambil kebijakan agar berpihak padanya. Mengutamakan kepentingannya dan melindungi segala apa yang diinginkan.
6.        Tindakan korupsi mengundang penipuan yang dilakukan oleh badan hukum publik dan masyarakat umum. Badan hukum yang dimaksud suatu lembaga yang bergerak dalam pelayanan publik atau penyedia barang dan jasa kepentingan publik.
7.        Setiap tindak korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan. Ketika seseorang berjuang meraih kedudukan tertentu, dia pasti berjanji akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan semua pihak. Tetapi setelah mendapat kepercayaanm kedudukan tidak pernah melakukan apa yang telah dijanjikan.
8.        Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari koruptor sendiri. Sikap dermawan dari koruptor yang acap ditampilkan dihadapan publik adalah bentuk fungsi ganda yang kontradiktif. Disatu pihak sang koruptor menunjukkan perilaku menyembunyikan tujuan untuk menyeret semua pihak untuk ikut bertanggung jawab, di pihak lain dia menggunakan perilaku tadi untuk meningkatkan posisi tawarannya.


BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian atau penulisan ini adalah dengan mencari informasi dari berbagai sumber yang berhubungan tentang penelitian tersebut.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada peneliti hanya melanjukan proses dari data yang sudah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti  buku, laporan, jurnal dan internet.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1    Mengapa bisa terjadi korupsi ?
Terjadi sebuah kegiatan semacam ini bisa timbul karena beberapa sebab kerena individu yang awalnya menanamkan dalam benak atau dirinya untuk “Tidak Pada Korupsi” nyata hal tersebut bisa dia lakukan.
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
  • Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
  • Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
  • Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
  • Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
  1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
  5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
  8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno  bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam  memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain
4.2    Mengapa praktek korusi itu sulit untuk diberantas ?
Menurut Kuntoro mengapa korupsi sulit sekali diberantas sebagai berikut :
1.    Belum rampungnya pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2.    Belum selesainya revisi UU Tindak Pidana Korupsi.
3.    Belum dipertimbangkannya LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan LHA PPATK dalam seleksi pejabat strategis di instansi penegak hukum.
4.    Belum digunakannya instrumen hukum perampasan aset dalam putusan perkara tindak pidana korupsi.
5.    Masih buruknya koordinasi lembaga pengawas eksternal maupun internal di berbagai lembaga pemerintah.
 Kalau menurut penulis kenapa prektek korupsi itu sulit diberantas (hal ini penulis lihat dari setiap kasus dan pelakunya dari media surat kabar ataupun elektronik) sebagai berikut :
1.    Sikap mental dari individunya.
2.    Ruang lingkup keluarga atau lingkungan.
3.    Desakan ekonomi.
4.    Adanya kesempatan.

4.3    Bagaimana dampak dari korupsi dalam kegiatan bisnis ?
1.    Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
2.    Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
3.    Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
4.    Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.

4.4    Siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan korupsi ?
Seluruh instansi Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat baik yang berbentuk Lembaga Swadaya masyarakat maupun perorangan memiliki tanggung jawab yang sama dalam mempercepat pemberantasan Korupsi.
Dalam mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi aparat penegak hukum dan masyarakat dapat memanfatkan temuan-temuan pemeriksaan lembaga pengawas/pemeriksa internal dan eksternal seperti Inspektorat/bawasda, BPKP, Irjen dan BPK sebagai informasi awal. Sebuah langkah maju telah dilakukan oleh BPK dalam memberikan informasi pengelolaan keuangan daerah/Negara kepada masyarakat dengan meng-upload hasil pemeriksaan BPK dalam website yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 Tahun 2006 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti sesuai dengan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan tersebut. Setelah terpenuhinya ketentuan diatas, maka hasil pemeriksaan BPK dinyatakan terbuka untuk umum atau telah menjadi dokumen publik dan dimuat dalam website BPK pada www.bpk.go.id. Aparat penegak hukum, LSM, dan masyarakat dapat mengakses hasil pemeriksaan BPK yang telah di-upload dalam website untuk dijadikan sebagai informasi awal dalam mengidentifikasi indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah/Negara.
Banyak contoh hasil pemeriksaan BPK yang dijadikan informasi awal oleh aparat penegak hukum dalam mengindentifikasi terjadinya tindak pidana korupsi. Kasus yang masih hangat dan sering menjadi head line mass media nasional adalah kasus penyalahgunaan dana Bank Indonesia yang disalurkan melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp.100 milliard dan dugaan penyalahgunaan dana bagi hasil sumber daya alam oleh Bupati Yapen waropen periode 2005 2010 karena diduga telah merugikan keuangan daerah sebesar Rp8,8 milliard. Demikian juga dengan ICW yang telah memanfaatkan laporan BPK mengenai sistem pengelola keuangan hasil korupsi di Kejaksaan yang diangap kurang transparan.
BPK tidak berhenti pada pemuatan hasil pemeriksaan pada Website. BPK telah melakukan MOU dengan Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK dalam menangani tindak lanjut hasil pemeriksaan yang berindikasi tindak pidana. Diibaratkan dengan permainan sepakbola, kini BPK memiliki tiga striker atau penyerang sekaligus yaitu KPK, Kejaksaan, dan Polri untuk menciptakan gol ke gawang lawan dan BPK bertindak selaku pemberi umpan. Hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi tindak pidana merupakan umpan bagi ketiga institusi : KPK, Kejaksaan, dan Polri untuk dapat diproses secara hukum.


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita diketahui bahwa penananan moral atau akhlak sejak dini itu penting untuk selalu mengingatkan pada diri sendiri perbuatan yang mementingakan diri sendiri atau satu organisasi itu tidak baik dan manfaatnya. Kejadian korupsi dan masih banyak para koruptor tidak terlepas akibat dari lemahnya hukum yang ada di Indonesia, sehinggaa para koruptor pun tak merasa jera. Pemberantasan korupsi pun menjadi agenda besar pemerintah yang mesti di prioritaskan dan dipantau terus kasus demi kasusnya.

5.2 Saran
Segera di perbaiki undang-undang atau aturan tentang peraturan yang berhubungan dengan korupsi. Coba untuk pemerintah atau lembaga yang berwenang untuk memberlakukan sanksi hukuman sosial untuk para koruptor dan memikir matang-matang pemberian remisi untuk para pelaku yang jelas-jelas telah melakukan tindakan korupsi.
 

  
DAFTAR PUSTAKA

Darmono, 2009. Percepstsn pemberantasan korupsi tanggung jawab siapa. Dalam http://darmono.blogdetik.com/2009/06/29/percepatan-pemberantasan-korupsi-tanggung-jawab-siapa/
Google, 2013, Moral. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Moral
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia

Senin, 29 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis_IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA CONTOH KASUS : PADA IKLAN KLINIK TONG FANG

Kelas               : 4EA17
Nama              : Ahmad Eko Saputro
Npm                : 10211411
Tugas ke         : 3

ABSTRAK

Ahmad Eko Saputro. 10211411
IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA CONTOH KASUS : PADA IKLAN KLINIK TONG FANG
Jurnal. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata Kunci: Iklan, Etika, Estetika, Hak Kosumen.

iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen. Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen.Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas melalui berbagai media, sehingga iklan harus memiliki etika dan juga estetika, baik moral maupun bisnis. Karena iklan yang baik adalah iklan yang mempunyai etika dan estetika.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak konsumen.
Untuk para pembuat iklan seharusnya memahami peraturan-peraturan yang sudah di buat oleh lembaga periklanan, supaya iklan yang dibuat tidak melanggar aturan dan berindikasi membohongi konsumen.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual atau oral, iklan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi khalayak umum untuk mencapai target keuntungan. Dengan demikian, suka atau tidak suka iklan mempunyai pengaruh ynag sangat besar terhaap kehidupan manusia baik secara positif maupun negative. Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen.
Iklan sebagai komunikasi antara produsen dengan konsumen atau antar penjual dengan calon pembeli. Dalam ilmu ekonomi khususnya dalam dunia marketing iklan merupakan bauran dari promosi yang berfungsi menyampaikan informasi tentang suatu produk kepada masyarakat, yang tujuannya adalah untuk mendekatkan suatu produk dan memberikan kesan kepada konsumen bahwa produk tersebut lebih unggul daripada yang lain dengan beberapa kelebihan yang masing-masing dimiliki oleh produk tersebut.
Berdasarkan uraian di atas jurnal ini akan membahas tentang iklan dalam etika dan estetika pada contoh kasus : PADA IKLAN KLINIK TONG FANG

1.2     Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan masalah sebagia berikut :
1.    bagaimana seharusnya produsen mempromosikan suatu produk barang atau jasa kepada konsumen dilihat dari sisi kepentingan perusahaan dan hak-hak konsumen?”

1.2.2  Batasan Masalah
Penulis membatasi masalah dalam penulisan ini hanya tentang periklanan dalam etika dan estetika

1.3    Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.    mengetahui produsen mempromosikan suatu produk barang dan jasa kepada konsumen dari sisi kepentingan perusahaan dan hak konsumen.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 kerangka Teori
2.1.1 Pengertian iklan
Iklan Adalah Segala bentuk pesan tentang suatu produk disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. pengertian iklan secara komprehensif adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertent. Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan dengan kompensasi biaya tertentu.
Menurut Rhenald Kasali (1995;3) dalam bukunya “ Manajemen Periklanan” iklan pertama kali dikenal melalui pengumuman – pengumuman yang disampaikan secara lisan, artinya dilaksanakan melalui komunikasi verbal. Karena disampaikannya secara lisan artinya dilaksanakan maka daya jankauannya sempit. Namun untuk ukuran ketika itu, iklan yang demikian sudah dianggap efektif. Selangkah lebih maju dari peradaban lisan, manusia mulai menggunakan sarana tulisan sebagai alat penyampaian pesan.ini berarti pesan iklan sudah dapat dibaca berulang-ulang dan dapat disimpan.
Dengandemikian, iklan merupakan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak  pembuat iklan

2.1.2 Tujuan Iklan
Tujuan iklan (advertising goal) adalah tugas komunikasi khusus dan tingkat pencapaian yang harus dicapai dengan pemirsa tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan iklan dapat diklasifikasikan menurut tujuannya, sebagai berikut :
  • Iklan informatif. Bertujuan menciptakan kesadaran merek dan pengetahuan tentang produk atau fitur baru produk yang ada.
  • Iklan persuasif. Bertujuan menciptakan kesukaan, preferensi, keyakinan, dan pembelian produk atau jasa.
  • Iklan pengingat. Bertujuan menstimulasikan pembelian berulang produk dan jasa.
  • Iklan penguat. Bertujuan meyakinkan pembeli saat ini bahwa mereka melakukan pilihan tepat.
2.1.3  Fungsi Iklan
Sonny Keraf membagi fungsi iklan dalam dua hal yaitu :

  1. Iklan sebagai pemberi informasi.
Iklan sebagai pemberi informasi artinya iklan adalah media yang menjembatani antara produsen dan konsumen. Selain itu, bagi konsumen iklan adalah cara untuk membangun citra atau kepercayaan terhadap dirinya.
  1. Iklan sebagai pembentuk pendapat umum.
Iklan sebagai pembentuk pendapat umum dipakai oleh propagandis sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik. Fungsi yang pertama dan kedua memiliki cara kerja yang kuat secara psikologis bagi calon konsumen. Jika sudah terbentuk dalam pola pikir yang melekat, maka itu akan membahayakan konsumen yang hanya tertarik pada alat-alat promosi.

2.1.4   Prinsip-prinsip Dasar Iklan
Prinsip-prinsip dasar iklan tersebut perlu diketahui sebelum membuat atau mengiklankan usaha bisnis agar iklan yang dibuat nantinya tidak melenceng dari tujuan. Ada beberapa prinsip dasar iklan antara lain :
  • Adanya pesan tertentu.
Dalam sebuah iklan, pasti ada pesan tertentu yang tersirat untuk pihak lain. Pesan yang disampaikan dalam sebuah iklan dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan pesan nonverbal.Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan dalam bentuk kata-kata. pesan verbal dapat disampaikan melalui media cetak ataupun audio visual.Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi ketika pesan yang disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan  gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata,  penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, simbol-simbol, serta  cara berbicara seperti intonasi, kualitas suara, gaya emosi dan lain sebagainya.
  • Dilakukan oleh komunikator (sponsor).
Ciri sebuah iklan adalah bahwa pesan tersebut dibuat dan disampaikan oleh komunikator atau sponsor tertentu secara jelas dan mempunyai makna.
  • Dilakukan dengan cara nonpersonal.
Nonpersonal artinya tidak dalam bentuk tatap muka secara langsung,  tetapi melalui sebuah media. Penyampaian pesan dapat disebut iklan bila dilakukan melalui media, baik itu media cetak atau audio visual seperti koran dan televisi.
  • Disampaikan untuk khalayak tertentu.
Sasaran khalayak yang dipilih tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya setiap kelompok memiliki keinginan, kebutuhan, karakteristik, dan keyakinan tertentu terhadap sesuatu. Dengan demikian, pesan yang diberikan harus dirancang khusus sesuai dengan target khalayak.
  • Dalam penyampain pesan dilakukan dengan cara membayar.
Dalam kegiatan periklanan, istilah membayar sekarang ini harus dimaknai secara luas. Sebab, kata membayar tidak saja dilakukan dengan alat tukar uang, tetapi juga dengan cara barter berupa ruang, waktu, dan kesempatan.
  • Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu.
Semua iklan yang diciptakan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah khalayak, misalnya saja agar khalayak mengikuti pesan iklan, seperti membeli produk tertentu dengan segera, setia menggunakan produk yang diiklankan dan lain sebagainya.

2.1.5 Klasifikasi iklan berdasarkan jenis
1.    Iklan Produk.
Iklan ini biasanya masuk dalam kategori konvensional. Berbagai perusahaan biasanya mengiklankan produknya kepada konsumen. Iklan produk ini semacam upaya untuk memberi tahu pada konsumen terhadap produk baru. Microsoft misalnya baru-baru ini meluncurkan Windows Vista. Untuk mengiklankan produk ini, kabarnya Microsoft mengeluarkan duit hingga milyaran dollar Amerika.
2.    Iklan Eceran.
Iklan kategori ini bersifat lokal dan berfokus pada toko. Misalnya saja, Anda sering menjumpai iklan-iklan di Carefoure yang menyampaikan produk murah. Iklan eceran berfokus pada tempat, harga, jam, dan ketersediaan barang.
3.    Iklan Korporat.
Jenis iklan ini befokus untuk membangun identitas korporasi atau untuk mendapatkan dukungan (opini) publik terhadap sudut pandang atau perubahan yang dilakukan sebuah perusahaan. PT Pertamina misalnya melakukan perubahan logo. Untuk itu, Pertamina melakukan iklan besar-besaran. Hal yang sama sebelumnya juga dilakukan Indosat dengan merubah logonya. Iklan korporat biasanya dibuat untuk membangun karakteristik baru atau citra baru dari sebuah perusahaan.
4.    Iklan Bisnis ke Bisnis.
 Iklan ini termasuk jenis iklan baru. Contoh yang sederhana untuk menggambarkan iklan macam ini adalah sebuah perusahaan ban yang mengiklankan diri pada perusahaan manufaktur mobil. Jadi, perusahaan ban itu mensponsori ban mobil yang dibuat.
5.    Iklan Politik.
Iklan politik ini muncul di Amerika. Biasanya digunakan dalam event-event politik. Namun, seringkali iklan politik lebih cenderung pada pembentukan citra ketimbang berbicara tentang isu-isu yang sedang dihadapi masyarakat. Tetapi bukan tidak mungkin iklan politik hanya dibuat para politisi. Pemerintah Malaysia dan Thailand pada tahun 1998 juga membuat iklan politik. Mereka meluncurkan kampanye periklanan untuk memperbaiki reputasi mereka yang menguap dan mengembalikan investor yang hilang.
6.    Iklan Direktori.
Jenis iklan ini biasanya terdapat dalam direktory yellow pages. Iklan direktori ini unik karena ada kecenderungan para penggunanya siap membeli produk atau jasa ketika membuka direktori.

7.    Iklan Respon Langsung.
Iklan kategori ini melibatkan komunikasi dua arah antara pengiklan dan konsumen. Periklanan ini menggunakan sembarang media periklanan (pos, televisi, koran atau majalah), dan konsumen dapat menanggapinya, sering kali lewat pos, telepon atau faks. Banyak perusahaan memperbolehkan konsumen menanggapinya secara online. Sebagai contoh, Majalah Time menggunakan iklan televisi untuk periklanan respon langsung. Iklan tersebut mengajak para pemirsa menelepon satu nomor bebas pulsa untuk berlangganan majalah atau meminta informasi lebih lanjut. Serupa dengan itu, perushaan menggunakan kartu-kartu yang disisipkan ke dalam rak-rak penjualan yang dengan sendirinya merupakan mekanisme tanggapan. Konsumen hanya perlu mengisinya dan mengeposkan tanpa prangko untuk mendapatkan kiriman ke rumah.
8.    Iklan Layanan Masyarakat.
Iklan ini dirancang beroperasi untuk kepentingan masyarakat dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat. Iklan-iklan ini diciptakan bebas biaya oleh para profesional periklanan, dengan ruang dan waktu iklan merupakan hibah oleh media.
9.    Iklan Advokasi.
Iklan jenis ini berkaitan dengan penyebaran gagasan-gagasan dan klarfisikasi isu sosial yang kontroversial dan menjadi kepentingan masyarakat. Perusahaan yang menerapkan strategi periklanan pada masalah sosial seperti konservasi alam semakin bertambah banyak.

2.1.6  Pengertian Etika
Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai  dan  moral  pribadi  perorangan  dan  konteks  sosial menentukan  apakah  suatu  perilaku  tertentu  dianggap  sebagai  perilaku  yang  etis  atau  tidak etis.
Menurut Magnis-Suseno menyatakan bahwa etika dan ajaran moral tidak berada disatu tingkat yang sama. Ajaran moral menetapkan bagaimana manusia harus hidup, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Sedangkan etika membantu seseorang untuk mengerti mengapa ia harus mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana ia dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral.

2.1.7  Pengertian Estetika
Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ini. Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika (abstrak). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.

2.1.8  Iklan yang Berestetika
  • Estetis. Estetis berkaitan dengan kelayakan, kepada siapa iklan itu ditujukan siapa target marketnya, siapa target audiennya, kapan iklan terebut harus ditayangkan.
  • Estetika. Berkaitan dengan keindahan. Selain nilai etis iklan juga harus mengandung daya tarik seni, estetika.
Agar iklan itu match, dan tidak membosankan selain itu iklan dengan estetika yang baik, juga akan mengundang daya tarik khalayak (desire) untuk memperhatikan iklan tersebut dan kemudian melakukan action membeli dan menggunakan produk tersebut.

2.1.9  Penilaian Etis Terhadap Iklan
Prinsip-prinsip etis memang  penting,  tapi  tersedianya  prinsip-prinsip  etis  ternyata  tidak  cukup  untuk menilai  moralitas  sebuah  iklan.
Menurut Bertens, ada  beberapa  faktor  yang  harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis dalam periklanan :


  • Maksud si pengiklan.

Penilaian  etis  atau  tidaknya  suatu iklan  tentu  saja  berkorelasi  kuat dengan  maksud  si pengiklan, apabila maksud si pengiklan sudah tidak baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa iklannya pun juga akan  sulit  dianggap  etis  oleh masyarakat.
  • Isi iklan.
Selain  maksud  si  pengiklan,  suatu iklan akan menjadi tidak etis apabila isi  iklan  tersebut  kurang  baik, misalnya saja iklan tentang minuman keras,  terutama  apabila  disiarkan  di Negara  yang  menjunjung  tinggi  adat ketimuran  seperti  Indonesia  ini.  Ada juga  kontroversi  iklan  mengenai produk  yang  merugikan  kesehatan masyarakat,  apalagi  kalau  bukan rokok.  Pemerintah  dapat  mengambil tindakan  tegas  untuk  melarang  iklan rokok  yang  ada  dengan  tujuan  agar masyarakat  tidak  terpengaruh  oleh rokok,  terutama  generasi  muda  dan remaja. Namun di  sisi  lain  rokok boleh  diperjualbelikan  dengan  legal, tentunya  akan  menuai  banyak  protes ketika iklan  tentang  rokok  dilarang. Dalam  hal seperti ini konsumen sendirilah yang harus memfilter iklan-iklan tersebut, dapat mempertimbangkan penggunaannya bagi  kesehatannya,  terutama  resiko yang  didapat  daripada  manfaat  yang diperoleh.
  • Keadaan publik yang tertuju.
Dalam  membuat  iklan,  pastilah  sang produsen menargetkan iklannya tepat sasaran,  yaitu  tepat  mengena  pasar konsumen  tertentu  yang  dituju, misalnya  iklan  mobil  menargetkan iklannya  dapat  menarik  bagi masyarakat  golongan  menengah  ke atas  (karena  secara  realitas merekalah  yang  mampu  membeli). Hal  ini  apabila  penyampaiannya kurang  tepat,  maka  dapat menimbulkan  perkara  etika  bagi golongan  masyarakat  dibawahnya. Apakah  etis  jika  ada  iklan  tentang mobil  yang  mewah  di tengah-tengah keadaan  masyarakat  yang  sedang kacau  dan  mayoritas  berada  di bawah  garis  kemiskinan ? Karena dengan  adanya  iklan  semacam  ini, maka garis pemisah antara penduduk kaya  dan  miskin  akan  semakin  tebal.
  • Kebiasaan di bidang periklanan.
Periklanan  selalu  dipraktekkan dalam  rangka  suatu  tradisi,  dimana dalam  tradisi  itu,  orang  sudah  biasa dengan  cara  tertentu  disajikannya iklan.  Sudah  ada  aturan  main  yang disepakati  secara  implisit  atau eksplisit  dan  yang  seringkali  tidak dapat  dipisahkan  dari  etos  yang menandai  masyarakat  itu.

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian atau penulisan ini adalah dengan mencari informasi dari berbagai sumber yang berhubungan tentang penelitian tersebut.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada peneliti hanya melanjukan proses dari data yang sudah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti  buku, laporan, jurnal dan internet.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 CONTOH KASUS: IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA CONTOH KASUS : PADA IKLAN KLINIK TONG FANG
Iklan layanan kesehatan yang menawarkan metode pengobatan Traditional China Medicine (TMC) seperti klinik Tong Fang belakangan marak di stasiun-stasiun televisi. Dalam iklannya, klinik-klinik itu juga menampilkan testimoni dari pasiennya yang mengaku berhasil.
"Padahal kita ketahui tidak satu pun metode pengobatan dapat menjanjikan kesembuhan kepada pasiennya," kata Kaukus Dokter Nusantara
Pengobatan China sudah lama hidup di Indonesia, namun belum ada dapat mempertanggung jawabkannya secara ilmiah. Biasanya, masyarakat datang ke tempat-tempat itu karena berbagai alasan, seperti ingin mencari alternatif selain pengobatan modern sampai pada alasan karena keputus-asaan dan ketidak-percayaan terhadap metode pengobatan modern.
Dalam Undang-Undang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Peraturan Menteri kesehatan No 1787 Tahun 2010 mengenai Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, dinyatakan bahwa masyarakat sebagai pengguna pelayanan kesehatan perlu diberikan perlindungan dari informasi berupa iklan dan publikasi pelayanan kesehatan yang menyesatkan. Semua iklan pelayanan kesehatan yang menjanjikan hal-hal seperti tersebut di atas tidak diperkenankan.
"Pada gilirannya rasa keamanan masyarakat tidak terlindungi," tambahnya.

Harusnya, iklan atau publikasi layanan kesehatan memuat informasi data atau fakta yang akurat, berbasis bukti, informatif, edukatif dan bertanggung jawab. Seperti yang tertuang dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ditegaskan bahwa bertindak seolah-olah sebagai dokter adalah pelanggaran.
Dalam iklannya, sering kali metode itu melibatkan dokter untuk mempublikasikan pelayanan kesehatan konsep mereka. Padahal tidak ada yang bisa membuktikannya secara ilmiah.
Lebih ironi lagi, iklan-iklan itu kerap ditayangkan berulang tanpa ada kontrol, teguran dan sanksi dari organisasi profesi IDI terhadap dokter yang bersangkutan. Tak ingin semakin banyak warga yang menjadi korban informasi menyesatkan, Kaukus Dokter Nusantara memberikan imbauan:
·  Pemerintah harus bertanggung jawab dan memberikan edukasi yang mencerdaskan masyarakat dalam mencari pertolongan pengobatan serta memperbaiki sistem pelayanan kesehatan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
·  Semua pemberi pelayanan kesehatan baik klinik, rumah sakit maupun pemberi pelayanan pengobatan tradisional wajib mentaati dan tidak boleh dibiarkan melawan/menantang ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang iklan dan publikasi pelayanan kesehatan.
·  Bahwa lembaga penyiaran yang masih dan/atau akan menayangkan iklan segera melakukan perbaikan dengan cara mengikuti dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·  KPI dan Badan Pengawas Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I) diminta bersungguh-sunguh menjalankan tugas dengan melakukan pengawasan secara ketat dan serta melakukan tindakan sesuai kewenangannya dalam melihat maraknya fenomena iklan pelayanan kesehatan di lembaga penyiaran.
·   Kemenkes sebagai instansi pemerintah harus membina dan mengawasi semua lembaga pelayanan kesehatan baik modern maupun tradisional, dan menertibkan serta menindak tegas pada maraknya iklan klinik kesehatan yang memberi janji berlebihan dan menyesatkan masyarakat.
·  Organisasi IDI dalam hal ini PB IDI diharapkan melakukan tugas dan fungsinya secara optimal untuk membina dan mengawasi setiap anggotanya yang terlibat dalam iklan dan publikasi pelayanan kesehatan, serta melakukan langkah-langkah yang tegas dan konkret.
Ternyata pada tanggal 31 Mei 2012 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan surat imbauan nomor 336/K/KPI/05/12. Menurut KPI, Iklan Klinik Tong Fang menayangkan testimonial pasien dan pemberian diskon bila pasien melakukan pengobatan di klinik tersebut. Hal ini tidak diperbolehkan dalam Peraturan Menteri kesehatan No. 1787 Tahun 2010 mengenai Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan. Dalam PerMenKes tersebut, di pasal 5 disebutkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam iklan kesehatan, seperti memberikan pengharapan yang tidak tepat,  membandingkan dengan mutu pelayanan kesehatan tempat lain, mempublikasikan metode yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran, mengiklankan potongan harga, serta memberikan testimoni.
Dalam surat imbauan itu, KPI Pusat mengimbau kepada seluruh lembaga penyiaran untuk segera melakukan perbaikan dengan cara mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu KPI meminta agar lembaga penyiaran berhati-hati dengan penayangan iklan yang berkaitan dengan masalah kesehatan.
Iklan merupakan sebuah media yang menawarkan jasa atau barang kepada calon konsumen melalui berbagai media. Salah satu media massa yang efektif adalah media penyiaran seperti televisi dan radio, maupun media interaktif lainnya seperti internet. Namun masyarakat sebagai konsumen hendaknya tau etika yang digunakan dalam beriklan, sehingga bisa ikut mengawasi adanya penipuan dalam iklan media penyiaran. UU Perlindungan Konsumen Pasal 17 ayat 1.f menyebutkan bahwa “Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”
Keberadaan iklan tersebut tidak hanya mengganggu masyarakat, tetapi juga merugikan pihak pengobatan konvensional (dokter).

Orang yang memasang membuat iklan bukan hanya memiliki izin tetapi harus memiliki etika dan estetika. Periklanan seharusnya menjadi media pengenalan produk bukan menjadi media menjatuhkan produk lain atau membohongi konsumen.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada studi kasus di atas yang sudah di uraikan di nyatakan  salah satu penyebab adanya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam penyajian periklanan adalah tidak adanya aturan yang jelas serta kurang tegasnya sanksi dan hukuman yang diberikan kepada pihak terkait, karena selama ini rambu-rambu periklanan yang dibuat oleh KPI atau Badan Pengawas Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I)  belum tersosialisasikan dengan baik Sehingga masih banyak perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut tanpa memperhtikan etika dan estetika dalam iklan tersebut dan dalam sanksi yang diberikan belum bisa membuat jera para pembuat iklan, hal ini yang bisa memicu kejadian semacam ini muncul kembali.

5.2 Saran
Beberapa hal yang harus dicermati konsumen dalam melihat iklan diantaranya adalah dalam iklan tidak kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“. Iklan juga tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama. Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan. Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, serta masih banyak lagi etika yang harus dimengerti oleh pembuat iklan.
 

DAFTAR PUSTAKA


Aruni, Anum. Periklanan. Dalam  https://anumaruni.wordpress.com/2010/05/09/periklanan/
Buhori, Iman. 2012, Ironi fenomena klinik Tong Fang yang menyesatkan. Dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/ironi-fenomena-klinik-tong-fang-yang-menyesatkan.html
Google, Klasifikasi iklan berdasarkan jenis. 2010. Dalam http://gemapariwara.blogspot.com/2010/01/klasifikasi-iklan-berdasarkan-prinsip.html
Google, Prinsip-prinsip dasar iklan. 2011. Dalam http://gemapariwara.blogspot.com/2011/04/prinsip-prinsip-dasar-iklan.html
Keraf, Sonny. 2008. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius.
Monlee & Carla Johnson. , 1999. Principles of Advertising:A Global Perspektive, The Haworth Press