- Identitas buku
Judul novel :
Hafalan Shalat Delisa
Judul Resensi : Kepolosan,
Ketabahan dan Keikhlasan Delisa
Penulis :
Tere Liye
Desain Cover :
Eja-creative 14
Tata Letak :
Alfian
Penerbit : Republik Penerbit
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit :
2008
Cetakan : VI, januari 2008
Deskripsi Fisik : 266 hlm.; 20.5 x
13.5 cm.
ISBN : 978-979-321-060-5
Harga Novel : Rp
46.000
- Sinopsis – Resensi Novel Hafalan Shalat Delisa
Sebuah
keluarga tinggal di desa bernama Lhok Nga. Lhok Nga adalah sebuah desa yang
terletak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keluarga tersebut terdiri dari
Abi Usman, Umi Salamah, Fatimah, Zahra, Aisyah, serta Delisa. Abi Usman bekerja
di salah satu kapal internasional, maka tak heran jika ia pulang ke Lhok Nga
setiap tiga bulan sekali, itu pun hanya dua minggu, setelah itu kembali bekerja
lagi, sedangkan Umi Salamah bekerja sebagai penjahit sekaligus ibu rumah tangga.
Fatimah berusia 16 tahun, Zahra dan Aisyah adalah anak kembar, usia mereka 12
tahun, sedangkan Delisa berusia 6 tahun.
Subuh
itu, adzan di Meunasah membangunkan seisi desa. Termasuk keluarga Abi Usman.
Kala itu tidak ada Abi Usman. Ia masih bekerja di kapal internasional itu.
Peran Abi Usman digantikan sementara oleh Umi Salamah. Kak Fatimah sebagai anak
sulung juga ikut membantu peran umi. Kebetulan Kak Fatimah merupakan anak yang
dewasa. Setiap subuh ia membangunkan adik-adiknya dengan lemah lembut. Zahra
dan Aisyah sangat mudah dibangunkan ketika subuh tiba, berbanding terbalik
dengan si bungsu Delisa yang sangat sulit dibangunkan untuk shalat subuh. Pasti
saja umi harus turun tangan membantu Kak Fatimah membangunkan Delisa. Delisa
dan Kak Aisyah sering bertengkar ketika dibangunkan shalat subuh, karena Karena
Kak Aisyah sering meledek Delisa yang sulit dibangunkan, hingga membuat Delisa
sedikit kesal. Tak jarang umi turun tangan membantu Kak Fatimah jika bujukan
Kak Fatimah sudah tidak mempan lagi membangunkan Delisa.
Delisa
masih sulit dibangunkan. Sedangkan Kak Aisyah terus meledek Delisa. Kak Aisyah
adalah anak yang iseng, kerjanya setiap hari mengganggu dan meledek Delisa adik
bungsunya. Lain sifatnya dari Kak Zahra yang baik hati, tidah cerewet, dan rajin
belajar. Apalagi Kak Fatimah, dia kakak yang baik hati dan sangat penyayang,
walaupun sedikit tegas.
Delisa
anak yang manis dan menggemaskan. Suatu hari Delisa mendapatkan tugas dari
gurunya untung praktek shalat beserta bacaan lengkapnya. Jadi setiap hari kerja
Delisa adalah menenteng buku hafalan sholatnya sekalius sesekali menghafalnya.
Delisa agak sulit menghafal bacaan shalat, mungkin karena dia masih kecil. Bacaan
shalat yang iya baca selalu terbalik satu dengan lainnya. Terdengar sangat lucu,
tak jarang Kak Aisyah meledeknya karena itu.
Setiap
shalat jamaah dalam keluarga Abi Usman, siapa yang menjadi imam harus
mengeraskan bacaan shalatnya. Agar membantu serta mempermudah Delisa dalam
menghafal bacaan shalatnya. Karena tidak ada abi, sering kali Kak Aisyah, Kak
Fatimah, serta Kak zahra yang menjadi imam dan mengeraskan suaranya agar dapat
didengar Delisa.
Setiap
anak-anaknya yang sukses dari praktek hafalan shalatnya, Umi Salamah selalu
memberikan kalung kepada mereka, begitupun dengan Delisa. Umi mengatakan kepada
Delisa jika ia lulus praktek shalat, umi akan memberikan hadiah kalung untuk
Delisa. Delisa sangat senang mendengarnya, Delisa memang anak yang sangat
senang jika diberi hadiah.
Keesokan
harinya, umi mengajak Delisa ke pasar untuk membeli kalung. Delisa sangat
bersemangat, tetapi dia takut hilang di pasar dan ditinggal sendirian, oleh
karena itu dia erat memegang umi. Umi membeli kalung tersebut di toko emas
milik sahabat abi yaitu Koh Acan. Setiap kali membeli kalung untuk anak-anaknya,
umi selalu mendapatkannya dengan setengah harga, umi sealu menolak dan ingin
membayar penuh. Tetapi Koh Acan selalu menolaknya. Akhirnya umi memutuskan
untuk membeli kalung dengan huruf “D” D
untuk Delisa. Tetapi tidak dengan kakak-kakaknya dulu, mereka hanya diberi kalung
tanpa huruf inisial nama mereka.
Delisa
dan umi pulang ke rumah. Delisa sangat senang karena kalung itu, meski baru
akan diberikan umi setelah praktek shalat nanti berjalan dengan lancar. Setiba
di rumah, Delisa langsung memperlihatkan kalung itu kepada kakak-kakanya. Kak
Fatimah dan Kak Zahra terlihat biasa saja, tidak marah. Berbanding terbalik dengan Kak Aisyah yang marah karena
iri dengan Delisa, apalagi setelah abi menelpon umi dan ingin membelikan sepeda
untuk Delisa, Kak Aisyah semakin marah.
Tetapi berkat penjelasan dari umi, Kak Aisyah kembali mengerti dan tidak marah
lagi kepada Delisa.
Delisa
terus menghafalkan hafalan suratnya meskipun sering kali terbalik. Padahal Kak
Fatimah sudah sering mengajarkan. Delisa sanga bersemangat kerena kalung itu.
Bacaannya masih terus menerus terbalik. Sesekali Delisa meminta izin umi untuk
melihat kalung itu, agar dia bersemangat lagi hafalannya. Delisa sangat
menyukai segala sesuatu yang bernama hadiah.
Sepulang
sekolah Delisa langsung menuju Meunasah untuk mengaji Di TPA dengan Ustad
Rahman. Hari itu Delisa agak telat, karena ia tugas piket di sekolah. Delisa
lari terburu-buru agar cepat sampai ke TPA, karena Ustad Rahman selalu
mengatakan “muslim yang baik adalah yang dapat menghargai waktu”. Walaupun
sudah tergesa-gesa datang ke TPA, tetap saja Delisa terlambat beberapa menit.
Sesampainya di TPA delisa masuk dengan wajah menggemaskannya, Ustad Rahman
hanya tersenyum melihat kelucuan Delisa. Wajah Delisa memang menggemaskan, matanya
hijau, rambutnya pirang dan ikal. Kebetulan dia ada sedikit keturunan. Delisa
anak yang pandai, dia banyak bertanya mengenai hal yang tidak iya mengerti.
Delisa bertanya kepada Ustad Rahman, mengapa bacaan shalatnya selalu terbolak
balik, ustad menjawab karena Delisa kurang teliti dan kurang banyak menghafal.
Delisa bertanya kembali, bolehkah bacaan shalat terbolak balik ustad? Ustad
Rahman menggeleng sambil tersenyum dan menjawab tidak boleh. Ustad bercerita
dan menjelaskan kepada anak-anak tentang kekhusukan dalalam melakukan sesuatu.
Delisa sangat antusias dengan penjelasan ustad. Sebelum TPA selesai, ustad
menutupnya dengan doa bersama.
Sepulang
dari TPA Delisa bersama teman-teman laki-lakinya bermain bola di lapangan.
Delisa memang agak tomboy, dia senang bermain bola di lapangan. Di tengah
permainan Delisa dijemput Tiur untuk berlatih sepeda, karena Delisa mau
dibelikan sepeda oleh abi.
Sabtu
subuh, 25 Desember 2004. Seperti rutinitas biasa, keluarga Abi Usman melakukan
shalat subuh berjamaah. Setelah selesai shahat, Delisa mendekati umi dan
memeluknya, tidak seperti biasanya. Lalu mengatakan “Delisa cinta Umi karena
Allah”. Umi tertegun mendengar bungsunya berbicara seperti itu. Hingga umi
terharu dan menagis bahagia. Kakak-kakak delisapun ikut memeluk umi dan
menangis. Pemandangan yang tidak biasa. Seperti biasa Ustad Rahman menutup TPA
dengan doa . Dan mengatakan bahwa untuk beberapa hari ke depan TPA diliburkan,
karena ustad ada urusan penting. Dia ingin melamar seorang wanita. Anak-anak
sangat senang karena dalam beberapa hari TPA diliburkan, begitu pula dengan
Delisa.
Sepulang
sekolah Delisa mengganti bajunya dan bergegas menuju ke TPA. Iya berangkat
cepat sekali. Ternyata ada janji yg hendak ia tagih. Yaitu hadiah yang akan
diberikan Ustad Rahman kepada anak yang berhasil membuat terharu orang tua
karena mengatakan “aku cinta umi karena Allah”. Delisa menceritakan
keberhasilannya kepada ustad, kakak-kakaknya pun ikut terharu. Ustad
mengeluarkan sebatang coklat dari kantongnya dan memberikannya kepada Delisa.
Delisa sangat senang. Tetapi Delisa merasa berdosa karena mengatakan itu kepada
umi demi sebatang cokelat, walaupun saat itu dia benar-benar mengatakannya dari
hati. Kak Fatimah telah mengetahui dosa sebatang cokelat itu, tetapi tidak
dengan umi.
Keesokan
harinya, 26 Desember 2004. Jadwal praktek shalat Delisa. Delisa sudah
menghafalkan bacaan shalatnya, meskipun tadi pagi bacaan sujudnya masih
terbolak-balik. Umi mangantarkannya ke aula tempat dilaksanakannya praktek
shalat. Ibu Guru Nur menguji satu per satu anak. Delisa menunggu giliran dengan
cemas. Tidak lama kemudian nama Delisa dipanggil Ibu Guru Nur. Delisa maju ke
depan. Umi menatapnya dari jendela kaca. Delisa melakukan hafakan shalatnya
dengan khusuk seperti yang diajarkan Ustad Rahman. Di tengah hafalan Delisa,
tiba-tiba bencana besar datang, seluruh Aceh bergetar, gempa disertai tsunami
menghantam Aceh dan sekitarnya. Delisa tidak bergeming, dia tetap pada hafalan
shalatnya. Walaupun Ibu Guru Nur, Umi, serta orang tua lainnya sudah
meneriakinya untuk berhenti, tetapi Delisa teap khusuk pada hafalan shalatnya.
Hingga ombak tsunami menghantam dirinya, tetapi ia tetap tidak berhenti, karena
Delisa sangat khusuk, dan ingin sekali mendapatkan hadiah kalung itu. Seluruh
Aceh porak poranda dihantam gempa. Seluruh orang yang berada di TPA ikut
hanyut. Negitu pula Ibu Guru Nur dan Delisa. Kaki delisa dihantap pagar aula. Ibu
Guru Nur berusaha mencari Delisa didekatnya dan menyelamatkan berusaha
menyelamatkannya. Akhirnya Ibu Guru Nur dengan sisa tenaganya menemukan Delisa
di dalam air dan berusaha menariknya unntuk naik ke atas papan yg menghanyut.
Sayangnya papan itu tidak cukup untuk mereka berdua. Ibu Guru Nur menaikan
Delisa ke atas papan dan mengikat Delisa dengan sisa kerudung Ibu Nur yang
sudah robek dihantam tsunami. Ibu Nur sudah tidak mampu lagi menahan derasnya
ombak dan berbagai hantaman yang menimpa tubuhnya. Akhirnya Ibu Guru Nur
meninggal dunia.
Beberapa
saat ketika bencana dahsyat itu terjadi, Aceh luluh lantah. Seluruh bangunan
hancur lebur tak tersisa, yang tersisa hanyalah pondasi rumah-rumah. Berita
tersebut cepat menyebar hingga ke penjuru dunia. Abi Usman yang sedang bekerja
di kapal mendengar berita itu dan segera pulang ke Aceh. Lhok Nga seketika
dibanjiri oleh bala bantuan dan para relawan dari berbagai daerah. Setibanya di
Aceh dari Toronto, Kanada, abi lansung mencari informasi tentang keluarganya. Tetapi
informasi yang ia dapat dari Koh Acan sangat mengecewakan. Koh Acan
memberitakan bahwa anaknya Fatimah, Aisyah, dan Zahra ditemukan tidak benyawa
dan sudah dikubur oleh para relawan. Abi lemas mengetahui hal itu. Abi berharap
umi dan Delisa masih hidup.
Sudah
hampir seminggu lamanya bencana itu terjadi. Tetapi delisa dan umi belum juga
ditemukan. Delisa masih hidup, dia tersangkut di semak belukar. Dia bermimpi
bertemu umi, kakak-kakaknya, serta Tiur dan Umi Tiur. Mereka semua nampak
bahagia dan bercahaya. Mereka masuk ke dalam gerbang taman yang indah, tetapi
tidak dengan delisa. Begitu Delisa bangun dari pingsannya, Delisa melihat mayat
Tiur yang membengkak dan pucat terbaring di sampingnya. Delisa sangat takut.
Hal yang paling ditakutinya adalah sendirian. Tubuh Delisa penuh lebam. Sekujur
tubuh Delisa penuh luka, begitu pula dengan wajahnya. Betis kaki kanan Delisa
yang terhantam pagar aula sudah bernanah dan bertambah parah. Tangan delisa
sudah lemas, Delisa bertahan hidup dengan meminum air hujan yang turun, serata
memakan buah apel yang entah dari mana datangnya. Delisa juga sudah terbiasa
melihat mayat Tiur sahabatnya, dia sudah tidak tahut lagi. Luka di tubuh Delisa
makin parah. Sudah hampir seminggu ia tergantung di semak belukar.
Sersan
Ahmed, relawan dari luar negeri menugaskan para prajuritnya termasuk Prajurit
Smith untuk mengevakuasi para korban. Prajurit Smith adalah seorang mualaf.
Para prajurit yang mencari mengevakuasi para korban menemukan para korban yang
sudah tidak bernyawa, hampir seluruhnya tidak bernyawa. Menemukan korban yang
selamat hanya sebuah harapan bagi mereka. Karena sudah seminggu lamanya bencana
itu terjadi. Kemungkinan kecil ada korban yang selamat. Prajurit Smith terus
mengevakuasi korban. Akhirnya Prajurit Smith memperhatikan ada sesuatu
menggantung di semak belukar, sesuatu yang bercahaya. Ternyata itu Delisa,
Prajurit Smith menemukan Delisa yang masih hidup mengagantung di semak belukar.
Lututnya lansung lemas dan terperosok ke tanah. Prajurit Smith langsung
menghubungi bala bantuan dari pusat. Tubuh Delisa berhasil diselamatkan dan
dibawa dengan helikopter menuju rumah sakit darurat. Sersan smit terus
memikirkan Delisa. Belum lama anak dan istrinya meninggal dunia dlam kurun
waktu enam bulan. Anaknya seusia dengan Delisa. Sersan Smith terus memikirkan
Delisa, memikirkan wajah bercahayanya. Prajurit Smith tidak bisa melupakan
wajah bercahaya itu. Dia berpikir bahwa cobaan yang dialami Delisa lebih berat
darinya.
Keesokan
harinya, Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi seorang muslim, dengan dibantu
oleh Sersan Ahmed akhirnya Prajurit Smith menjadi seorang mualaf, dan mengganti
namanya menjadi Prajurit Salam.
Dokter Eliza, memutuskan untuk mengamputasi kaki kanan
Delisa diamputasi, karena luka yang terlalu parah. Tangan kanannya digips,
sedangkan kepalanya digunduli, untuk mengobati luka yang banyak terdapat di
kepalanya. Dokter Eliza juga sedang mengusahakan kali palsu untuk delisa.
Sersan Ahmed dan Prajurit salam terus mengunjungi Delisa di rumah sakit
darurat. Mereka ingin melihat perkembangan Delisa. Delisa dirawat oleh suster
muda berumur 25 tahun bernama Suster Shopi. Suster Shopi berasal dari Virginia,
ia seorang muslim dan telah mengenakan jilbab.
Suster Shopi terus menemani Delisa. Ia menunggu hingga
Delisa siuman. Ia juga meletakan dua buah boneka Teddy Bear di samping ranjang
Delisa. Sedangkan Abi Usman terus mencari informasi tentang Delisa.
Sudah empat hari lamanya Delisa di rumah sakit, akhirnya
Delisa siuman. Suster Shopi setia mendampingiya. Begitu Delisa siuman, Suster
Shopi dengan wajah cantiknya menyapa Delisa dengan ramah. Meski delisa tidak mengerti
bahasa yang digunakan Kak Shopi. Kak Shopi mengenalkan dirinya kepada Delisa.
Delisa agak kesulitan mengeja namanya, dia menyebutnya Kak Cofi. Delisa merasa
kesakitan. Dia teringat semua kejadian yang menimpanya. Delisa juga kaget kini
melihat dirinya. Tetapi Delisa tetap bersyukur karena masih hidup. Kak Shopi
memberiakan boneka Teddy Bear itu kepada Delisa. Delisa sangat senang, apalagi
Kak Shopi manambahkan slayer biru ke leher boneka-boneka itu. Kebetulan itu
warna kesukaan delisa. Delisa sangat senag, dia masih bisa tersenyum senang
diatas segala cobaan yang menimpanya. Suster Shopi sangat kagum dengan Delisa. Suster
Shopi memberikan formulir kepada Delisa. Delisa mengisi formulir itu dengan
sepengetahuannya. Formulir itu berguna untuk menemukan keluarganya yang masih
hidup.
Informasi itu di tempel di barak penampungan. Abi Usman
membaca info tersebut dan segera mendatangi rumah sakit darurat dimana Delisa
dirawat. Akhirnya abi menemukan Delisa. Dia sangat sedih melihat kondisi
bungsunya Delisa. Delisa sangat senang bertemu dengan abi. Abi kagum kepada
Delisa, delisa masih bisa tersenyum wlaupun cobaan yang menimpanya amat berat.
Delisa terus bertanya mengenai umi dan kakak-kakaknya. Abi menjelaskan, bahwa
kakak-kakaknya telat ditemukan meninggah dan sudah dikuburkan, sedangkan umi
belum diketahui keberadaanya. Delisa sedih dan menangis. Delisa rindu umi dan
kakak-kakaknya, begitu juga dengan abi. Delisa tidak melenjitkan pembicaraan
tentang umi dan kaka-kakaknya, karena dia tau ani sangat sedih jika
mengingatnya.
Suster Shopi tidak pernah absen mengunjingi Delisa.
Begitu pula Sersan Ahmed dan Prajurit Salam. Delisa sudah sangat akrab dengan
mereka. Suster Shopi sering memberinya cokelat. Beberapa hari setelah Delisa
dirawat, kondisinya membaik. Delisa juga sudah mendapatkan kurk sebagai alat
bantu berjalan. Delisa mengngat tentang kalung itu, Delisa juga ingat kalau ia
sedang hafalan shalat. Tetapi ia benar-benar tidak inget sama sekali tentang
bacaan shalat itu. Delisa berusaha mengingat bacaan shalat itu, tetapi setiap
mengingatnya kepala Delisa sakit. Delisa berkeliling rumah sakit darurat itu,
sambil melatihnya berjalan agar terbiasa menggunakan kurk. Abi bolak-balik ke
rumahnya yg kini tinggal pondasi saja. Tak terasa sudah sebulan lebih bencana
itu berlalu. Abi membangun sedikit demi sedikit agar bisa menjadi rumah
sederhana untuk ditinggalinya bersama Delisa. Kok Acan sahabat abi, yang
merupakan penjual emas di pasar kini berjualan martabak aceh di depan rumahnya,
barang dagangannya yang berupa emas ikut hanyut terbawa air bah.
Tak lama kemudian, Delisa kembali ke rumah serhana yang
telah selesai dibangun oleh abi dengan sisa tabungan serta uang pesango dan
sumbangan yang di dapat dari teman-temannya di tempat kerja. Mereka sudah tidak
lagi tinggal di barak penampungan. Delisa juga sudah terbiasa makan masakan
abi.
Delisa juga sudah kembali mengaji di TPA, yang diajarkan
Kak Ubay. Kak Ubay adalah seorang relawan.
Delisa dan teman-temannya juga sudah mulai sekolah. Delisa terus
menanyakan Ustad Rahman yang tak kunjung ada kabar. Beberapa hari kemudian
Ustad Rahman kembali ke Lhok Nga. Ia sanagt sedih melihat kondisi Delisa.
Tiga bulan telah berlalu, itu artinya masa kerja para
relawan sudah habis. Dan harus kembali ke negaranya masing-masing. Delisa dan
abi ikut mengantar mereka, delisa sangat sedih karena ditinggal orang-orang
yang sudah sangat dekat dengannya. Perpisahan yang sangat mengharukan. Kak
Shopi memberikan kalungnya yang berinisial “S” untuk Shopi kepada delisa.
Tetapi Delisa tidak mau. Lalu Suster Shopi memberikan dua batang cokelat untuk
Delisa. Seperti biasa Delisa langsung menyambar cokelat itu. Sersan Ahmed,
Prajurit Salam, dan Suster Shopi memeluk Delisa utuk terakhir kalinya. Abi
membantu Delisa untuk berkomunikasi dengan mereka, karena abi pandai berbahasa
inggris. Mereka meneteskan air mata.
Setiap minggu Delisa pergi ke kuburan masal untuk
mengunjungi kuburan kakak-kakaknya, dan meletakan tiga batang bunga mawar biru,
tak jarang dia bercerita tentang kehidupannya dan abi pasca bencana.
Tak berapa lama setelah Delisa berziarah kubur delisa
mengalami sakit. Setibanya di rumah Delisa terkapar, suhu badannya sangat
tunggi. Abi bingung dan akhirnya membawanya ke rumah sakit ditemani Kak Ubay.
Dokter Peter lamgsung membawa Delisa ke UGD. Selama pingsan,
Delisa bermimpi umi lagi. Delisa sangat rindu dengan umi. Dimimpi itu Delisa
banyak bercerita kepada umi. Delisa mengatakan dia sangat rindu umi. Delisa
juga menceritakan tentang dosa sebatang cokelat itu. Umi memohon kepada Allah
agar mengampuni dosa sebatang cokelat itu. Delisa dan umi berpelukan, delisa
sangat bhagia. Wajah umi sangat teduh dan bercahaya. Delisa memaksa harus ikut
umi. Tetapi umi bergeleng tegas. Umi berkata bahwa Delisa harus melanjutkan
hafalan shalatya. Kali ini Delisa dapat mengingat mimpinya. Tak lama Delisa
sadarkan diri. Panasnya sudah turun. Abi dan Kak Ubay bergantian menjaga
bergantian. Giliran Kak Ubay yang menjaga. Abi pulang untuk berganti baju.
Delisa nertanya kepada Kak Ubay, mengapa dia lupa dengan semua hafalan shalatnya.
Kak Ubay menjawab, orang lupa karena niatnya tidak murni karena Allah. Delisa
teringat sesuatu, ternyata dulu dia hafalan karena ingin kalung itu. Delisa
merasa berdosa. Dia tidak ingin lagi kalung itu. Dia ingin hafalan murni karena
Allah.
Delisa pulang ke rumah, dia sudah sembuh. Setelah shalat
berjamaah dengan abi, Delisa mengatakan hal yang pernah dikatakanya kepada umi.
“Delisa cinta Abi karena Allah”. Abi tertegun, menagis terharu mendengarnya.
Kali ini benar-benar dari hati, bukan karena hadiah.
Delisa terus menghafal bacaan shalatnya. Seminggu
kemudian ia hafal bacaan shalat itu. Delisa kembali sekolah, Ibu Guru Ani
satu-satunya guru yang selamat karena bencana itu, memberikan surat dari
sahabat di luar negeri. Ibu Guru Ani membantu menerjemahkannya. Delisa dibnatu
abi membalas surat tersebut dalam bahasa inggris, Ibu Guru ani yang
menyuruhnya. Abi mengadakan pesta kejutan kecil untuk Delisa. Seluruh teman
abi, tak lupa teman-teman Delisa serta Kak Ubay dan Ibu Guru Ani juga Hadir.
Delisa mendapat kejutan kaki palsu yang dikirim oleh Dokter Eliza yang
dititipkan kepada Ibu Guru Ani. Delisa sangat senang mendapatkannya.
Keesokan
harinya Kak Ubay mengajak anak-anak TPA ke bukit dekat Lhok Nga untuk melukis
pasir. Setibanya di bukit Delisa sangat senang dan melukis kaligrafi di pasir.
Waktu ashar pun tiba. Kak Ubay dan anak-anak bergegas untuk shalat berjamaah.
Ini untuk pertama kalinya Delisa shalat dengan sempurna, dengan bacaan yang
benar dan lancar. Delisa sudah tidak ingin kalung itu, Delisa hanya ingin
shalat dengan benar. Kak Ubay melihat wajah Delisa yang bercahaya. Selesai
shalat berjamaah anak-anak bermain pasir kembali. Hari sudah sore. Anak-anak
bergegas pulang. Mereka membersihkan badan dan pakaian mereka. Saat Delisa
ingin mencuci tangan di sungai kecil dekat bukit, sambil menyibak rambut
ikalnya yang mulai tumbuh. Delisa menatap sesuatu di seberang sungai. Sesuatu
yang memantulkan cahaya bewarna kuning. Delisa gemetar menyebrangi sungai kecil
itu untuk melihat benda apakah itu. Delisa terperangah melihat benda itu,
ternyata kalung. Kalung yang ia kenali. “D” untuk Delisa. Delisa lemas dan
menagis. Dia kembali melihat kalung itu, ternyata kalung itu bukan tersangkut
di dedaunan. Malainkan tersangkut di tangan yang sudah menjadi kerangka.
Kerangka itu merupakan kerangka umi. Delisa menangis terisak.
- Unsur Intrinstik Novel
1. Tema
1) Kepolosan anak berumur 6 tahun yang membaca doa tidur.
2) Sifat tabah seorang anak yang berumur 6 tahun setelah
ditinggalkan sebagian orang-orang terdekatnya setelah bencana tersebut dan
ketabahan untuk menjalankan sisa hidupnya dengan apa yang sudah terjadi.
3) Setelah terjadi bencana tersebut delisa baru memahami apa
itu arti dari sifat ihklas, setelah memahami baru ia mampu menghafal bacaan
shalat yang selama ini dia sulit untuk menghafalkannya.
2. Tokoh dan
penokohan.
1) Delisa :
Pemalas, lucu, manja, baik, dan suka memberi
“Kak Fatimah ganggu saja… Delisa masih
ngantuk!” Delisa bandel menarik bantak. Ditaruh di atas kepala. Malas mendengar
suara tertawa Kak Fatimah.( 2008:2)
2) Ummi Salammah :
Baik, sabar, dan bijaksana
“Tetapi doanya tetap nggak seperti itu
kan, Delisa….” ummi menambahkan. “Kamu kan dikasih tahu artinya oleh Ustadz
Rahman… Nah kamu boleh baca seperti artinya itu… Itu lebih pas… Atau kalau
Delisa mau lebih afdal lagi, ya pakai bahasa arabnya! Entar bangunnya insya Allah
nggak susah lagi… Ada malaikat yang membangunkan Delisa. (2008:7)
3) Fatimah : Baik
dan perhatian
“Delisa bangun, sayang…. Shubuh!”
Fatimah, sulung berumur lima belas tahun membelai lembut pipi Delisa. Tersenyum
berbisik. (2008:2)
4) Aisyah : Usil,
iri hati, dan baik
Delisa menggeliat. Geli. Cut Aisyah
nakal menusuk hidungnya dengan bulu ayam penunjuk batas tadarus. (2008:1)
5) Zahra : Pendiam dan baik
6) Abi Usman : Baik dan sabar
7) Umam : Jahil, usil, nakal, dan
pemurung
8) Tiur : Baik dan pengertian
9) koh Acan : Baik, suka menolong dan suka
memberi
10) Shopie :
Baik dan penyayang serta pengertian
11) Smith atau salam : Baik,penyayang dan suka menolong
12) Ustadz Rahman :
Tawakkal, sabar, pengertian, dan baik hati
13) Ibu guru Nur :
baik dan penyayang
·
Tokoh pembantu atau figuran : Dokter Eliza, Sersan Ahmed,
Chi-bi, Papa Liem,
Tiar Er, Umi
Tiur, dan Teuku Dien.
3.
Latar
1.
Latar tempat
Kompleks
sederhana di pesisir pantai Lhok Nga di Banda Aceh.
2.
Latar waktu
Pada saat Delisa menjalani test
hafalan Sholatnya. Pagi itu, Sabtu 26 Desember 2004
3.
Latar suasana
Suasana
saat akan terjadi Gempa sangat tragis, seluruh orang pergi berhamburan mencari
tempat yang aman.
4.
Alur
Maju–mundur–maju (campuran)
Maju–mundur–maju (campuran)
Alur dari cerita ini yaitu maju,
mundur, maju (campuran) karena pada novel ini digambarkan bahwa Delisa
sehari-hari sekolah dan menghafal bacaan shalat lalu ditengah-tengan cerita
delisa mengenang masa-masa saat sebelum keluarganya meninggal karena bencana
Tsunami dan akhirnya ceritanya delisa berhasil menghafalkan bacaan shalatnya.
5.
Sudut
Pandang
orang ketiga serba tahu.
orang ketiga serba tahu.
6. Amanat
Dari novel ini banyak sekali amanat yang
harus memjadi bahan intropeksi, seperti :
1) Untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan jangan memikikan
hadiah atau imbalannya.
2) Karena dibalik
kesulitan pasti ada kemudahan.
3) Hidup di dunia
ini harus memiliki sikap saling tolong menolong.
4) Teruslah bersyukur
dengan apa yang diberikan oleh ALLAH SWT.
5) Jangan pernah
putus asa dalam menjalani hidup ini.
6) Sayangi
keluargamu seperti ia menyayangimu.
7. Keunggulan dan
kelemahan novel
1) Keunggulan Novel
·
Novel ini mengajarkan kita akan apa
arti hidup sederhana, ihklas, tulus, bekerja keras, dan senantiasa bersyukur.
·
Sebuah bacaan menarik yang sangat
inspiratif
·
Kata-katanya mudah dipahami
·
Pewatakan tokoh mudah dipahami dan
digambarkan secara jelas
·
Alur cerita mudah dipahami meski
alur maju mundur, dan alur tersebutlah yang membuat kita menjadi semakin
penasaran bagaimana akhir ceritanya
·
Didalam novel ini terdapat footnote
yang mendoakan tokoh utamanya dan sifat cemburu penulis kepada tokoh-tokoh pada
novel ini.
2) Kelemahan Novel
·
Halaman novel cukup tebal.
·
Ada beberapa kata-kata yang masih
menggunakan bahasa daerah.
·
Tidak ada autobiografi penulis
novel.
8.
Kesimpulan
Novel ini pantas dibaca untuk siapa
saja, terutama untuk anak-anak di zaman sekarang. Sesuai konsepnya yang
inspirasional, novel ini memberikan kita banyak inspirasi dan banyak sekali
hikmah yang terkandung didalamnya, pesan dan kesan yang dapat mengalir hingga
ke lubuk hati dan pikiran. Sebuah novel yang mudah dipahami karena menggunakan
bahasa yang sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar